Ingat Bachtiar Lubis
(Limas Sutanto, Psikiater)
Tidak jarang terapis berbicara sendiri, kendati ia sedang berbicara dengan pasiennya. Keterpisahan atau ketakterhubungan ini dapat terjadi. Bachtiar Lubis berulang mengatakan kepada penulis, di tengah beberapa tahun beliau membimbing penulisan disertasi, bahwa understanding, yang acap kali dirasakan sebagai “mengerti” oleh terapis tentang pasiennya, hanyalah bermakna apabila penyampaiannya menyudikan sang pasien untuk membuka diri terhadapnya, dan membiarkan dirinya dipengaruhi olehnya. Mengerti yang diucapkan itu menghubungkan pasien dan terapis. Di tahun-tahun antara 2005 dan 2007 itu, terasakan betapa sulit memahami pengajaran ini.
Baru-baru ini seorang pasien berpendidikan tinggi, yang sering menceritakan “ada organisasi rahasia yang mengawasi dirinya”, membantu terapis mengerti hal yang penting dalam terapi. Ia berkata bahwa cerita yang berulang-ulang ia sampaikan kepada terapis yang “hanya mendengarkannya dan sungguh tidak menolak ketakmasukakalannya”, sekarang mendapatkan pengertiannya. Pasien ini merasakan betapa ia menjadi suka mengulang-ulang menceritakan kecurigaan itu justru karena pada saat-saat itu dirinya dapat merasakan seseorang menghargainya, menerimanya, dan menganggapnya penting, yang dilakukannya dengan mendengarkan dan tidak menolak kemusykilan cerita itu. Delusi ini membawa muatan kebutuhan psikis yang fundamental, yang selama ini hampir tidak pernah terpenuhi: kebutuhan untuk mengalami dirinya dipentingkan, dianggap ada, oleh liyan; kebutuhan eksistensial untuk mengalami validasi. “Organisasi rahasia” itu menguntit terus karena dirinya diperlukan dan penting.
Sesungguhnya terapis mendengarkan dan tidak menolak cerita konspirasi itu karena ia memang tidak mengerti maknanya. Dalam ketidaktahuan yang membuatnya menderita, ia mau bertahan. Mungkin ini seperti negative capability yang dilukiskan oleh Jessica Benjamin. Dalam Reflection on the psychoanalytic process and its therapeutic potential (terhimpun dalam Papers on Psychoanalysis, 1980, Yale University Press), psikoanalis yang guru besar di Yale, Hans Loewald, bertutur tentang interpretasi sebagai sebuah penyampaian understanding terapis tentang pengalaman pasien. Baginya, interpretasi berefek terapeutik hanya jikalau ia sungguh menghubungkan terapis dengan pasiennya. Interpretasi yang benar itu senantiasa berbuahkan interkoneksi. Interkoneksi antara terapis dan pasien; dan, dalam khazanah mental pasien, interkoneksi antara bagian-bagian pengalamannya yang selama ini tidak termaknai karena mereka terpisah-pisah satu sama lain. Terbayang apa yang bakal terjadi apabila terapis, sebagai seorang dokter, menanggapi delusi pasien yang terpelajar itu dengan mengisi interpretasi dengan pengetahuan tentang teori-teori biokimiawi dan biomolekuler. Walaupun barangkali pemikiran-pemikiran ini ada benarnya, tetapi di saat-saat itu pelontarannya dapat memisahkan terapis dari sang pasien. Kadang-kadang penulis mengingat Prof. Bachtiar Lubis dan Prof. Hans Loewald secara bersama-sama. Kedua-duanya adalah dokter yang sungguh berpikir dalam psikoanalisis.