Memilih dalam pesta demokrasi adalah bagian mendasar dari hak asasi manusia (HAM), hak yang melekat sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan oleh semua orang. Di Indonesia pelaksanaan HAM dijamin oleh UUD 45 serta UU No 39 thn 1999 tentang HAM, khususnya pasal 23 yang menyebutkan bahwa setiap orang (termasuk penderita gangguan jiwa) berhak untuk memilih dan memiliki keyakinan politiknya. Pada tahun 2005 Indonesia juga telah meratifikasi International Convention on Civiland Political Right (ICCPR), dan telah menjadi perundangan aktif yaitu UU No 12 tahun 2005, yang pada pasal 25(b) menyatakan bahwa setiap warga negara mempunyai hak dan kesempatan untuk memilih dan dipilih pada pemilihan umum berkala yang jujur, dengan hak pilih yang universal dan sederajat.
Sayangnya peraturan hukum tertinggi di Indonesia yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia dinodai dengan peraturan penyelenggaraan pesta demokrasi. Selalu ada dalam UU pemilu lamasebelumera reformasihinggaUU Pemilu No 12 thn 2003, pada peraturan tentang hak memilih terdapat prasyarat diskriminatif yaitu pasal 14 ayat 2a mengatakan bahwa yang berhak ikut memilih adalah Warga Negara Indonesia yang nyata-nyata tidak sedang terganggu jiwanya. Syukurnya pasal diskriminatif ini menghilang dalam UU No 10 2008 pasal 19 tentang hak memilih; Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah genap berusia 17 tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih. Tidak ada prasyarat lain. Ajaibnya, pasal diskriminatif di atas muncul kembali dalam UU No. 8 tahun 2015 tentang Pilkada, yang pada Pasal 57 ayat (3) huruf a yang menyatakan syarat menjadi peserta pemilu haruslah tidak sedang terganggu jiwa atau ingatannya. Seperti copy-paste dari UU lawas yang sudah tidak berlaku. Prasyarat ini jelas diskriminatif karena hanya menyebut orang yang sedang terganggu jiwanya tidak bisa didaftarkan sebagai pemilih, berarti otomatis kehilangan haknya untuk memilih. Padahal mereka tidak pernah berkhianat atau melanggar hukum dan merugikan negara. Ironisnya banyak kelompok manusia lain yang jelas-jelas telah melanggar hukum dan merugikan negara seperti penjahat perang, teroris, koruptor atau penjahat narkoba perusak anak bangsa tidak dihambat untuk ikut memilih.
Dugaan kuat alasan mencoret penderita gangguan jiwa(ODGJ) dari daftar pemilih adalah karena persepsi yang keliru tentang ODGJ. Banyak yang menganggap penderita gangguan jiwa tidak berfikir normal sehingga keputusannya tidak dapat dipertanggung-jawabkan. Persepsi yang keliru. Meski ODGJ pada satu waktu bisa sangat tidak rasional dan tidak dapat mepertanggung-jawabkan tindakan dan perbuatannya, tetapi jauh lebih banyak waktu di mana ia bisa berfikir normal dan menentukan yang terbaik untuk dirinya. Apalagi bila berada dalam proses pengobatan, jauh lebih banyak penderita yang mampu kembali pada kehidupan dan cara fikir yang normal. Selain itu, sebagai bagian dari proses pemulihan, penderita perlu didorong, bukan dihambat untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial di masyarakat. Pasal diskriminatif di atas memperkuat persepsi yang keliru, membuat masyarakat menjauh dan memperkuat sikap dan pandangan negatif terhadap ODGJ.
Orang Dengan gangguan Jiwa (ODGJ) mampu memilih
Dalam UU No. 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, orang yang terganggu jiwa/ingatannya disebutOrang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) dan penetapan (diagnosis) sebagai ODGJ hanya bisa dilakukan oleh profesional tertentu yaitu Psikiater, Dokter dan Psikolog Klinis. Diagnosis haruslah berpedoman pada Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa edisi III (PPDGJ III). Terdapat ratusan diagnosis gangguan jiwa dengan variasi yang sangat luas dari yang ringan hingga yang sangat serius. Jika mengacu pada definisi ini maka jumlah penderita gangguan jiwa sangat banyak. Mengacu pada riset kesehatan dasar (riskesdas) 2013 terdapat lebih dari 6% penduduk dewasa atau sekitar 9 juta orang di Indonesia mengalami masalah mental emosional yang dapat dikategorikan menderita gangguan jiwa/ingatannya. Jika yang dimaksud dengan yang sedang terganggu jiwanya adalah ODGJ berat atau psikosis, maka jumlah penderita psikosis menurut riskesdas 2013 mencapai lebih dari 500 ribu orang. Bagaimana tenaga profesional memeriksa lebih dari 500 ribu dan adakah anggarannya? Sekali lagi, pemeriksaan harus dilakukan oleh tenaga profesional, mereka yang sudah mendapatkan pendidikan dan keterampilan klinis yang khusus. Adalah keliru bahwa penderita yang sedang mengalami gangguan jiwa dapat dilihat dan ditentukan dengan mudah oleh awam misalnya oleh panitia pemilih.
Secara klinis untuk menilai apakah seseorang dianggap memiliki kapasitas untuk menentukan pilihan, maka paling tidak harus mampu menyatakan 4 hal yaitu, mengerti pilihan yang diberikan, mampu menyatakan pilihannya, mempunyai alasan mengapa memilih yang menjadi pilihannya, serta mengetahui konsekuensi dari pilihannya tersebut. Kapasitas ini harus diperiksa secara spesifik untuk tujuan atau situasi tertentu. Contoh dalam klinis, kapasitas penderita perlu diperiksa untuk menentukan apakah penderita memiliki kapasitas untuk menentukan jenis pengobatan yang akan diberikan, atau menentukan kesediaannya untuk berpartisipasi dalam penelitian. Tentu penderita harus diberi penjelasan yang lengkap hingga ia mengerti apa akibat pengobatan atau konsekuensi dari keikut-sertaan dalam penelitian. Kapasitas menentukan pilihan bertujuan untuk menjamin pilihan yang akan diambil adalah yang terbaik bagi dirinya dan sekaligus melindung dirinya dari akibat buruk yang mungkin timbul. Tidak ada yang lebih paham tentang dirinya, kecuali dirinya sendiri. Karenanya pilihan terbaik bagi dirinya bisa berbeda dengan orang kebanyakan.
Dari banyak penelitian dapat disimpulkan bahwa kapasitas seseorang tidak ditentukan oleh diagnosis atau gejala yang dialami penderita, melainkan dari kemampuan kognitif. Artinya, ODGJ psikosis seperti penderita skizofrenia, Bipolar atau depresi berat tidak otomatis kehilangan kapasitas menentukan pilihan. Hanya penderita yang mengalami disfungsi kognitif yang berat kapasitasnya bisa berkurang atau dianggap tidak memiliki kapasitas. Tetapi perlu diketahui bahwa fungsi kognitif dapat ditingkatkan dengan pembelajaran dan pelatihan. Seseorang yang dianggap tidak memiliki kapasitas dapat dididik dan dilatih berulang sehingga kapasitasnya dapat diperbaiki dan kembali dimiliki.
Memilih dalam pemilu, bukanlah hal yang sulit.Tidak ada pilihan salah yang mempunyai konsekuensi buruk bagi pasien dan bagi masyarakat. Pilihan tiap orang bersifat sangat pribadi dan tidak dapat digugat atau disalahkan. Orang boleh memilih kandidat atas dasar programnya, kepribadiannya, pengalamannya, atau kemampuan akademiknya. Tetapi orang juga boleh memilih berdasarkan gender, agama, atau ras. Juga tidak ada larangan untuk memilih berdasarkan senyumnya, kumisnya, pecinya atau tahi lalatnya. Dalam memilih partai juga boleh atas dasar yang rasional seperti visi-misi dan program partai, para tokoh yang dimiliki, atau kinerja partai selama ini. Tetapi orang juga boleh memilih berdasarkan warna partai, tanggal kelahiran partai atau atas dasar tempat tinggal ketua partai. Siapa yang bisa mengetahui preferensi pemilih? Dan siapa yang bisa memastikan untuk menggunakan akal sehat saat memilih?
Karenanya,dalam pemilu pilihan tiap orang harus dijamin kerahasiaannya untuk memastikan pemilih tidak dapat disalahkan atas pilihannya. Pilihan dalam pemilu bukan menentukan mana benar atau salah, melainkan memilih yang terbaik yang terbaik.Pilihan pada pemilu dibuat sangat sederhana, sehingga semua individu dianggap mampu memilih, termasuk mereka yang mengalami gangguan jiwa.Tidak ada kerugian apa pun bagi pemilih, termasuk penderita gangguan jiwa, bila ikut memilih. Juga tidak ada kerugian apa pun bagi masyarakat bila penderita memilih calon A dan bukan calon B. Sehingga tidak diperlukan pemeriksaan kapasitas untuk boleh memilih atau tidak, dan penderita gangguan jiwa tidak perlu dihambat untuk berpartisipasi dalam memilih.
Seperti penyakit lain, Gangguan jiwa bersifat kronik, kambuhan dan bisa pulih
ODGJ psikosis tetap dapat berfungsi normal pada sebagian besar kehidupannya. Umumnya gangguan jiwa psikosis bersifat kronik dan episodik (kambuhan). Dalam kondisi‘kambuh’,ODGJ mengalami halusinasi, mempunyai pemikiran keliru atau bersikap tidak semestinya. Isi pikirnya menjadi sulit dimengerti, gagasan dan tindakannya bersifat spesifik hanya untuk dirinya. Kadang penderita dapat menjadi sulit untuk diarahkan dan bersikap tidak kooperatif. Dalam kondisi klinis yang serius seperti ini penderita wajib mendapatkan pengobatan tanpa perlu ditanyakan kesediaannya. Penderita dianggap tidak memiliki kapasitas untuk menentukan pengobatan. Jika periode ke kambuhan yang berat ini terjadi di hari pemilu, tentu tidak mungkin memaksakan penderita datang ke TPS untuk berpartisipasi memberikan suaranya. Namun, di luar masa kambuh, pemikiran, sikap, ingatan dan perilaku penderita dapat tetap normal. Mengingat proses pendaftaran pemilih hingga hari pemilu berlangsung untuk periode waktu yang cukup lama (3-6 bulan) maka menghapus seseorang dari daftar pemilih akan menghapus hak penderita yang pada hari pemilu kemungkinan besar sudah dalam kondisi baik dan mampu memilih.
Kehilangan kapasitasmenentukan pilihan juga terjadi pada penyakit non jiwa atau penyakit fisik lainnya. Penderita epilepsi misalnya, tentu tidak dapat datang ke TPS untuk memilih jika pada hari pemilu ia sedang mengalami kejang-kejang. Juga penderita sakit Diabetes Mellitus, pada hari pemilu bisa mengalami koma diabetikus sehingga masuk ICU dan tidak mungkin untuk memilih. Bahkan kehilangan kemampuan memilih juga dapat terjadi pada orang sehat yang tiba-tiba pada hari pemilu mengalami kecelakaan lalu lintas sehingga tidak sadar dan memerlukan perawatan intensif di Rumah sakit. Jelas, kehilangan kemampuan untuk memilih tidak dapat diramalkan, baik untuk ODGJ, penderita sakit fisik ataupun pada orang sehat sekalipun. Karenanya, penghapusan penderita gangguan jiwa dari daftar pemilih sangat tidak tepatdan sangat diskriminatif. Menderita gangguan jiwa atau penyakit lain tidak dapat dijadikan dasar menghapus seseorang dari daftar pemilu. Kemampuan untuk memilih sangat ditentukan oleh kondisi seseorang pada hari pemilu, bukan kondisi pada saat pendaftaran pemilih. Jika pembatasan daftar pemilih diberlakukan pada penderita gangguan jiwa maka pembatasan yang sama harusnya juga diberlakukan pada berbagai penderita penyakit kronis episodik lainnya.
Etiologi atau penyebab hampir semua gangguan jiwa tidak diketahui dengan pasti, namun dengan berbagai metode pengobatan yang ada saat ini hampir semua gejala gangguan jiwa dapat dikendalikan atau dihilangkan. Sebagian penderita mengalami hendaya (disabilitas) akibat gejalapenyakitnya sehingga dapat menghambat proses pemulihan. Karenanya proses pengobatan ODGJ tidak hanya menghilangkan gejala tetapi juga mengatasi disabilitas yang mungkin timbul. Contoh disabilitas yang timbul adalah menurunnya kemampuan bersosialisasi, kehilangan dorongan melakukan aktivitas atau berkurangnya rasa percaya diri. Karenanya pengobatan ODGJ psikosis tidak terbatas pada pemberian obat untuk menghilangkan gejala, tetapi juga meliputi program rehabilitasi psiko-sosial.
Dengan berbagai pengobatan yang tersedia saat ini, termasuk rehabilitasi psikososial, pemulihan bisa dicapai oleh sebagian besar penderita. Dari penelitian longitudinal dalam 10 tahun penderita skizofrenia (gangguan jiwa yang serius dan terbanyak dijumpai di klinis), dijumpai 25 % sembuh sempurna, 25% mengalami banyak kemajuan, 25% mengalami kemajuan namun perlu terus mendapat dukungan pengobatan, sementara sisanya 15% tetap perlu perawatan di RS, dan 10% meninggal karena penyakit fisik atau bunuh diri. Data ini jelas menunjukkan bahwa jumlah ODGJ skizofrenia yang pulih dan mampu berfungsi normal di masyarakat jauh lebih banyak dibanding penderita yang semakin memburuk.
Hambatan pemulihan ODGJ
Hambatan pemulihan ODGJ kini bukan pada mengatasi gejala, tetapi pada faktor psikososial yang dihadapi ODGJ. Banyak ODGJ dengan gejala yang sudah hilang atau minimal, kembali kambuh karena mengalami berbagai tekanan psikososial saat ia berada di tengah keluarga dan masyarakat. Misalnya banyak penderita yang di’bully’ oleh masyarakat, mengalami berbagai tindak kekerasan fisik maupun verbal dan dituntut untuk mempunyai kemampuan yang sama seperti orang lain. Banyak penderita yang mengalami diskriminasi dan kehilangan pekerjaan atau peran sosial di masyarakat. Dalam keadaan ekstrim penderita dipasung dan ditelantarkan oleh keluarga dan masyarakat.
Berbagai masalah psikososial di atas dapat terjadi karena terdapat kesan yang keliru tentang ODGJ. Banyak anggota masyarakat yang menganggap gangguan jiwa tidak dapat disembuhkan, perbuatannya tidak dapat dipertanggung jawabkan, dianggap berbahaya atau dianggap bukan manusia (normal) sehingga perlu disingkirkan dan dijauhi. Karenanya untuk mencapai pemulihan yang optimal, stigma negatif terhadap penderita harus dikurangi dengan memberikan informasi yang tepat tentang gangguan jiwa, serta dengan berbagai kebijakan yang melindungi penderita dan mendorong penerimaan masyarakat terhadap ODGJ. Berbagai komponen masyarakat, termasuk Kementerian Kesehatan dan Kementerian Sosial telah berusaha menghilangkan Stigma dan pandangan negatif terhadap ODGJ. Kini juga sudah ada UU No. 18, tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa dengan isinya berbagai aturan untuk melindungi ODGJ dari stigma dan diskriminasi serta mendorong upaya pemulihan. Jelas, kebijakan diskriminatif yang tertuang dalam Pasal 57 ayat (3) huruf a UUNo. 8 Tahun 2015 sangat bertentangan dengan upaya yang seharusnya dilakukan.
Judicial Review dan keputusan Mahkamah Kostitusi
Dengan berbagai alasan di atas, pada akhir tahun 2016, Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS), Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) bersama beberapa ODGJ dan penggiat kesehatan jiwa mengajukan judicialreview atas, pasal 57 ayat (3) huruf a UU No. 8 tahun 2015 di atas, meminta Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menghapus pasal diskriminatif tersebut. Dalam amar keputusannya MK menyetujui semua argumen pemohon baik atas pertimbangan klinis profesional maupun pertimbangan hukum. Sayangnya keputusan MK bukanmenghapus pasal tersebut, melainkan mengatakan: pasal yang dimaksud dianggap melanggar UU dan tidak berkekuatan hukum sepanjang yang dimaksud dengan ‘sedang mengalami gangguan jiwa’ bukanlah ‘gangguan jiwa dan atau gangguan ingatan permanen yang menurut profesional bidang kesehatan jiwa telah menghilangkan kemampuan seseorang untuk memilih dalam pemilihan’. Artinya pasal tersebut tetap ada dan diterjemahkan bahwa seseorang hanya boleh dicoret dari daftar peserta pemilu hanya jika ada surat keterangan dari profesional bahwa orang tersebut menderita gangguan jiwa yang permanen. Keputusan MK ini telah mempersempit kemungkinan mencoret ODGJ dari daftar memilih, namun tetap bersifat diskriminatif dan menimbulkan masalah dalam pelaksanaan di lapangan.
Tetap bercokolnya pasal di atas dalam UU Pilkada akan tetap memelihara stigma bahwa gangguan jiwa adalah berbeda dengan penyakit lain dan menegaskan ODGJ tidak dapat disembuhkan dan memiliki kemampuan memilih. Sekali lagi kesan ini akan memperkuat sikap menjauhkan penderita dari kehidupan normal di masyarakat yang akan berujung pada sikap diskriminatif dan menyulitkan ODGJ dalam proses pemulihan. Keputusan MK juga menimbulkan beban pada penyelenggara pemilu, karena harus mendapatkan surat keterangan profesional (psikiater) untuk mencoret ODGJ dari daftar pemilih. Siapa yang meminta surat keterangan tersebut dan siapa yang harus membayar biaya pemeriksaan yang dilakukan oleh psikiater? Berikutnya adalah tambahan beban bagi psikiater untuk menandatangani surat yang berakibat pasiennya terhapus dari daftar pemilih. Bagaimanapun akan timbul konflik moral dan etik. Hal lain adalah bagaimana pemeriksaan yang dapat memastikan ODGJ menderita sakit permanen dan tidak mampu memilih?
Ini adalah tantangan baru bagi psikiater. Secara profesional, psikiater telah sering melakukan pemeriksaan untuk menilai kondisi mental seseorang yang akan menduduki jabatan penting (proses seleksi), dan menilai kondisi mental atas dasar permintaan pengadilan untuk menilai kapasitas (tanggung jawab) ODGJ dalam masalah pidana. Penilaian kemampuan memilih dalam Pilkada sangat berbeda dengan dua pemeriksaan di atas. Karena, tidak ada akibat negatif yang akan dialami ODGJ dalam memilih, serta tidak ada akibat negatif pada masyarakat atas pilihan ODGJ. Perlu juga diingat bahwa psikiater telah juga ikut menyatakan bahwa calon yang akan dipilih telah dinyatakan sehat dan secara mental tidak memiliki masalah untuk menduduki jabatan publik.
Semoga tidak ada instansi yang mau repot mengirim ODGJ untuk dinilai apakah mampu memilih. Namun jika akhirnya psikiater diminta untuk memeriksa ODGJ dalam rangka keikutsertaan dalam pemilu/pilkada maka tetap harus diperhatikan beberapa prinsip. Pertama permintaan pemeriksaan harus dari instansi yang tepat. Idealnya permintaan harus dari pengadilan, namun bisa juga dari instansi terkait yang berwenang misalnya dari penyelenggara pemilu. Kedua, karena ini adalah tindakan profesional, maka harus mendapat bayaran yang sesuai. Jadi harus jelas siapa yang membiayai. Dan terakhir adalah standar pemeriksaan yang sesuai kebutuhan. Pemeriksaan tidak perlu terlalu rumit, mengingat yang dinilai hannyalah kemampuan yang sangat sederhana yang tidak mengandung konsekuensi negatif bagi ODGJ maupun konsekuensi hukum. Mengacu pada pemeriksaan kapasitas seperti dalam informedconsent, maka pemeriksa harus menerangkan tentang pemilu/pilkada dan pilihan yang tersedia. Karena tidak akan ada akibat negatif secara klinis maupun hukum serta pilihannya bersifat rahasia maka tidak perlu menilai alasan pasien dalam memilih serta menilai kemampuan pasien memahami akibat dari pilihannya. Sederhananya, setelah memberikan penjelasan tentang pemilu/pilkada, pemeriksaan yang perlu dilakukan adalah memastikan bahwa ODGJ sudah punya pilihan dan ODGJ mau memilih. Sangat sederhana, dan sebagian besar ODGJ pasti memiliki kapasitas dan mampu melaksanakan hak pilihnya.
Semoga para psikiater dan semua komponen masyarakat akan mendorong partisipasi ODGJ dalam pemilu/pilkada, dan melapangkan jalan ODGJ untuk melaksanakan hak pilihnya.
Psikiater memegang peranan penting dalam proses pemeriksaan sebuah kasus hukum, baik untuk membuat visum et repertum maupun sebagai saksi ahli. Psikiater yang mengkhususkan diri pada hal tersebut, disebut psikiater forensik atau konsultan forensik. #psikiater #forensik #pdskji #pdskjiindonesia #dokter #kasushukum #kesehatan #kesehatanmental #pengadilan #dokterspesialis
https://www.instagram.com/reel/Cqt5XUiO4Ug/?igshid=MDJmNzVkMjY=Paradigma pengobatan skizofrenia saat ini telah bergeser, termasuk pemilihan terapi antipsikotik injeksi atau disebut atypical antipsychotic long-acting injectable (aLAI). Yuk, ikuti e-Course CEGAH KAMBUH SKIZOFRENIA terbaru untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam penanganan orang dengan skizofrenia! GRATIS! Dapatkan 6 SKP IDI serta Sertifikat PDSKJI Tanpa biaya! e-Course ini dipersembahkan oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) bekerja sama dengan Alomedika serta didukung sepenuhnya oleh Johnson & Johnson.
KLIK link ini! https://alomedika.onelink.me/qZen/9216422506 Februari 2025 - Mari siapkan diri untuk agenda ilmiah Psikiatri Anak & Remaja paling dinanti! Departe...Readmore »
05 Desember 2024 - the 10th World Congress Asian Psychiatry (WCAP) 2024 Presents International Symposium &am...Readmore »
Copyright © 2014 - PDSKJI - All rights reserved. Powered By Permata Technology